Week 6 - Berbagai Konflik Antarnegara di Asia Tenggara
diposting oleh louis-embun-fisip13 pada 09 April 2015di MBP Asia Tenggara - 0 komentar
BAB 1: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara. K. J. Holsti (1983: 170) mendefinisikan konflik perbatasan sebagai konflik yang terjadi akibat ketidakseuaian pandangan negara dengan pihak negara lain terhadap kepemilikan suatu wilayah atau pada hak-hak yang diperoleh di dekat wilayah negara lain. Konflik perbatasan juga dapat dipahami sebagai perselisihan yang menyangkut hak-hak perbatasan suatu pihak dan sering kali direaksikan dengan konflik bersenjata atau reaksi yang mengarah pada penggunaan hardpower(Malik et al., 2003). Konflik perbatasan bermula sejak diberlakukannya sistem kedaulatan Westphalia. Sistem tersebut menekankan pada sistem kedaulatan yang bebas dari campur tangan pihak asing dengan melalui pembuatan sistem perbatasan regional yang nyata. Dari sistem Westphalia itulah, akhirnya seluruh negara di dunia mulai memberlakukan pembatasan wilayah negara secara tegas. Kendati demikian, konflik antarnegara karena perebutan wilayah masih kerap terjadi. Adapun di Asia Tenggara juga tidak jauh dari yang namanya konflik perbatasan, yang di dalam hal penyelesaian dan resolusinya melibatkan institusi-institusi tinggi seperti PBB.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi adanya konflik perbatasan serta kajian Hukum Internasional mengenai hal tersebut?
2. Apakah isu-isu konflik perbatasan yang ada di Asia Tenggara?
3. Bagaimana resolusi negara-negara di Asia Tenggara mengenai isu-isu tersebut?
1.3 Tujuan Rumusan Masalah
1. Mahasiswa/i dapat menjelaskan faktor-faktor terjadinya konflik perbatasan.
2. Mahasiswa/i dapat mendeskripsikan dan menganalisis mengenai isu-isu perbatasan yang terjadi di Asia Tenggara.
3. Mahasiswa/i dapat mempelajari mengenai resolusi negara-negara di Asia Tenggara terhadap penyelesaian isu tersebut.
BAB II: PENJELASAN
2.1 Konflik Perbatasan dan Kajian Hukum Internasional
Menurut Nadeak (t.t.), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik perbatasan. Pertama, kurangnya pengawasan terhadap wilayah sendiri merupakan salah satu faktor terjadinya sengketa wilayah teritorial. Perbatasan negara menjadi tempat yang krusial, sehingga perlu dilakukan penjagaan ketat agar tidak terjadi pelanggaran antar wilayah perbatasan. Kedua, kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan. Kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang tinggal di daerah yang menjadi pusat pemerintahan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan begitu besar. Kemiskinan banyak mewarnai kehidupan masyarakat perbatasan, sebab rendahnya sumberdaya manusia dan minimnya program-program pembangunan di wilayah tersebut. Sehingga hal tersebut dapatmelemahkan kekuatan masyarakat perbatasan dan integrasinya dengan negara. Ketiga, sikap pemerintah yang kurang tanggap terhadap wilayahnya, terutama pada wilayah perbatasan. Kendala yang dihadapi pemerintah adalah terlalu luasnya teritori dan kurangnya infrastruktur yang ada, sehingga membatasi pemerintah untuk mengelola wilayah. Keempat, faktor perjanjian batas wilayah yang tidak komprehensif. Dalam konsepsi hukum internasional, cakupan wilayah suatu negara adalah seluruh wilayah yang diwariskan oleh pihak kolonial. Ambiguitas rezim yang ada menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda oleh setiap negara. Kelima, adanya campur tangan dari pihak luar dengan kepentingan tertentu yang menyebabkan terjadinya konflik perbatasan.
Perbatasan dapat dipahami sebagai garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan negara lainnya diatas permukaan bumi (Starke, 1989: 245). Perbatasan menjadi penanda kedaulatan suatu negara atas wilayah yang dimilikinya, sehingga negara memberikan perhatian khusus berupa penempatan petugas penjaga perbatasan di wilayah yang berdekatan dengan perbatasan wilayah negara lain. Perbatasan wilayah antar negara yang berdekatan cenderung mengalami konflik, apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap letak perbatasan wilayah. Penarikan batas darat suatu negara ditetapkan berdasarkan koordinat titik-titik yang telah disepakati dalam perundingan batas antarnegara yang terkait. Perbatasan wilayah dapat dipahami dalam dua hal, yaitu perbatasan alamiah dan buatan (Starke, 1989: 246-7). Perbatasan alamiah berkaitan gunung, sungai, pesisir pantai, hutan, danau, dan gurun yang membagi wilayah dua negara atau lebih. Sedangkan, perbatasan buatan berkaitan dengan tanda yang merujuk pada garis perbatasan imajiner dan tanda yang sejajar dengan garis lintang atau garis bujur. Tanda tersebut biasanya berupa tugu, kawat berduri, dinding beton, atau border sign post. Titik koordinat tersebut telah disepakati secara bersama oleh negara-negara terkait dalam forum perundingan batas.
Selain batas wilayah darat, terdapat juga batas wilayah laut yang diatur oleh hukum laut internasional. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil mewujudkan hukum laut internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 117 negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen) dan juga mengatur tata cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberikan hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya bahkan untuk landas kontinen jaraknya bisa mencapai 350 mil laut (Starke, 1989: 245). Konvensi ini juga mengatur sistem penyelesaian sengketa, dimana negara-negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada salah satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut : Mahkamah Internasional (ICJ), Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi Khusus.Terdapat beberapa landasan atau prinsip hukum internasional yang digunakan dalam menyelesaikan konflik perbatasan, diantaranya adalah prinsip uti possidetis(kepemilikan awal),prinsip keadilan, prinsip tentang sejarah awal administratif dan persetujuan terkait wilayah yang bersangkutan, serta adanya naskah peraturan, perintah dan keputusan administratif, dokumentasi peta dan ciri luar geografis yang menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan sengketa perbatasan wilayah suatu negara (Starke, 1989: 245).
2.2. Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan
Secara geografis, Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar. Pulau Sipadan berada 15 mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Sedangkan pulau Ligitan terletak 12 mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik (www.lib.ui.ac.id). Konflik Indonesia dengan Malaysia ini berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, kedua negara tersebut secara bersamaan memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam batas-batas wilayahnya.
Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia (Ratnaningrum, 2010). Diberlakukannya status quo ini ditujukan agar kestabilan kedua negara maupun negara ASEAN yang berada di sekelilingnya tidak terganggu.
Namun kedua negara memahami pengertian tersebut berbeda. Malaysia memahami status quo bahwa kedua pulau tersebut tetap berada dibawah kepemimpinan Malaysia sampai persengketaan selesai. Sedangkan pihak Indonesia memahami bahwa adanya status quo berarti kedua pulau tidak boleh ditempati atau tidak dalam kepemimpinan kedua negara hingga persengketaan selesei (Puspita, t.t). Berbeda dengan Indonesia yang mentaati hukum internasional, Malaysia justru memanfaatkan kondisi tersebut dengan mendirikan fasilitas pariwisata di dua kepulauan tersebut. Mengetahui hal tersebut Indonesia langsung mengirimkan protes kepada Malaysia bahwa kedua kepulauan tersebut sedang dalam kondisi sengketa dan tidak diperbolehkan untuk menduduki wilayah tersebut. Keadaan bertambah parah ketika Malaysia mulai memasukkan kedua pulau tersebut pada perpetaan wilayahnya pada tahun 1979.
Situasi yang semakin parah ini membuat Presiden Soeharto sebagai wakil dari Indonesia dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mencari solusi dari permasalahan ini kepada ICJ. Setelah pertemuan kedua negara melalui ICJ ini terbentuklah suatu perjanjian atas adanya perdamaian antara Malaysia dan Indonesia serta sesegera mungkin ICJ memberikan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan ini berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dengan dibawanya sengketa wilayah ini melalui ICJ justru memperlemah posisi Indonesia. Pada tahun 2002, Indonesia dan Malaysia memberikan argumennya terkait dengan persengketaan wilayah tersebut berdarkan bukti-bukti yang dimiliki. Pada argumen yang disampaikan Indonesia, Indonesia menyatakan bahwa bukti kepemilikannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1981 dimana garis batas kedua negara adalah di pantai timur Pulau Kalimantan yang terus memotong ke pulau Sebatik yang menempatkan kedua pulau tersebut dibawah kepemilikan Belanda. Sedangkan argumen yang disampaikan oleh Malaysia dengan bukti-bukti yang ada bahwa Malaysia sejak tahun 1971 telah membuktikan pemberian perlindungan terhadap kedua wilayah tersebut seperti mengeluarkan perlindungan Penyu, adanya pembangunan mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 (Steven, 2009: 45). Pernyataan yang disampaikan Indonesia dan Malaysia ini membuat Mahkamah Hukum Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan secara resmi berada dibawakepemilikan Malaysia terbukti dengan keefektifan Malaysia yang melakukan perawatan atas kedua pulau tersebut.
Kasus serupa juga terjadi di kawasan perairan Ambalat, di mana Malaysia melakukan klaim terhadap perairan tersebut. Pemerintah Indonesia merespon tindakan yang dilakukan oleh Malaysia dengan jalan pengirima pasukan militer. Pemerintah Malaysia melakukan klaimnya atas perairan tersebut didasarkan pada peta mereka yang mereka buat sendiri pada tahun 1979. Hal ini pun tidak bisa deiterima oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2013, masih sering terjadi pelanggaran perbatasan oleh Malaysia di perairan Republik Indonesia. Sehingga Konflik ini laksana bom waktu.
2.3 Konflik Laut Cina selatan dan Kepulauan Spratly
Gambar Klaim Berbagai Negara di Kawasan Lat China Selatan
www.southchinasea.org
Sengketa Laut Cina Selatan ini melibatkan banyak negara sehingga penyelesaiannya menjadi sangat rumit dan berlangsung berlarut-larut. Sengketa ini juga mempunyai latar belakang yang cukup rumit sehingga belum terjadi kesepakatan diantara negara-negara bersengketa.Kepulauan Spratly terletak dikelilingi oleh beberapa negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Cina, Taiwan, dan Filipina. Kepulauan Spratly pada awalnya adalah sebuah pulau yang tidak berpenghuni dan sebenarnya bukan merupakan yang layak huni. Hal ini disebabkan kebanyakan pulau ini hanyalah berupa gugusan karang-karang laut. Namun klaim wilayah kepemilikan terhadap kepulauan Spratly mulai bermunculan karena kepulauan Spratly ini mempunyai banyak potensi keuntungan sumber daya alamseperti kandungan minyak yang melimpah dan letak kepulauan spratly yang strategis. Selain kandungan minyak yang melimpah, terdapat pula kandungan gas alam yang ada di wilayah Laut Cina Selatan. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara yang bersengketa atas wilayah kepulauan Spratly ini bersikeras untuk mengakui dan mengklaim atas wilayah tersebut. Kawasan kepulauan Spratly ini juga merupakan kawasan yang terletak di lintasan laut yang strategis karena berada di lintas layar dan perdagangan antar negara. Faktor ini juga kemudian menjadi faktor pendukung negara-negara yang bersengketa untuk semakin bernafsu mengklaim atas kepulauan Spratly ini, karena siapapun yang resmi memiliki kepulauan Spratly ini, maka negaranya akan memperoleh keuntungan ekonomi dari hasil kapal-kapal yang melewati dan melintasi kepulauan spratly untuk melakukan. Sebagai salah satu perairan paling sibuk di dunia, tentunya membawa keuntungan bagi negara-negara yang wilayah lautnya dilewati (Nugraha, 2012).
Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan. Kepulauan ini berbatasan langsung dengan Negara-negara Asia seperti negara Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Letak Geografis kepulauan Spratly adalah 4 derajat LU – 11derajat 31’ LU dan 109 derajat BT -117 derajat BT (Heinzig, 2010). Kepulauan Spratly diperkirakan memiliki luas sekitar 244.700 km2 dan terdiri atas kurang lebih sekitar 350 Pulau. Wilayah ini merupakan batas langsung negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan negara-negara ASEAN. Kepulauan Spratly terletak di sebelah Selatan RRT dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah Barat Filipina, sebelah utara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Setidaknya terdapat 6 negara bersengketa dan mengklaim wilayah kepulauan Spratly ini menjadi bagian dari wilayah negara mereka, keenam negara tersebut adalah RRT, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Proses salingmengklaim initelah berlangsung sejak tahun 1947. Pemerintah negara RRT epublik Rakyat Cina adalah yang pertama kali mengklaim wilayah Laut Cina Selatan ini.RRT kemudian membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau yang ada di wilayah Laut Cina Selatan seperti kepulauan Spratly dan juga kepulauan Paracels, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan (Permatasari, t.t). Kekayaan alam yang terdapat di wilayah Laut Cina Selatan adalah penyebab utama perebutan dan klaim wilayah ini.Klaim yang dikeluarkan RRT mengenai wilyah Laut Cina Selatan ini terbentang sekitar kurang lebih ratusan mil dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan.Pemerintahan di ibukota Beijing mengatakan bahwa hak RRTatas kawasan Laut Cina Selatan tersebutberawal mula dari 2.000 tahun yang lalu.Secara spesifik mereka juga mengklaim bahwa kawasan kepulauan Spratly dan kepulauan Paracels merupakan bagian dari milik RRT dan merupakan bagian dari teritorinya sejak abad ke-17.
Akibat perebutan klaim wilayah atas Laut Cina Selatan beserta Kepulauan Spratly antara RRTdan negara-negara lain yang bersengketa, terjadi insiden antara Angkatan Laut Cina dan Angkatan Laut Vietnam pada sekitar tahun 1988. Insiden ini terjadi berawal ketikakapal Angkatan Laut Vietnam yang sedang berlayar dan melintas diwilayah Laut Cina Selatan mendapat intervensi dari kapal perang Angkatan Laut milik RRT, sehingga kerusuhan dan pertengkaran diantara RRT dan Vietnam pun tidak dapat dihindari. Dalam kerusuhan ini Angkatan Laut Vietnam kehilangan sekitar 70 prajuritya (Sulaeman, 2014). Akibat dari insiden kerusuhan antara RRT dan Vietnam ini, Vietnam akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan diplomatiknya dengan RRT (Suharna, 2012). Konflik saling mengklaim atas wilayah kedaulatan Kepulauan Spratly juga terjadi pada Filipina. Konflik ini telah menimbulkan beberapa bentrokan lain pada tahun 1995 yang bermula ketika Angkatan Laut Filipina mencoba untuk membongkar bangunan milik RRT. Ketegangan antara RRT dan Filipina pun berlanjut ketika RRT merespon tindakan pembongkaran bangunan RRT tersebut dengan jalan mengirimkan kapal perangnya ke wilayah Kepulauan Spratly. Filipina pun menanggapi respon tersebut dengan mencoba untuk menempatkan pasukan militer mereka untuk menangkap para nelayan pencari ikan milik RRT yang berada di sekitar Kepulauan Spratly dibagian Timur. Namun, konflik antara RRT dan Filipina atas klaim wilayah Kepulauan Spratly tidak sampai menimbulkan bentrokan yang gawat seperti yang terjadi antara RRT dengan Vietnam. Konflik ini untuk sementara dapat diredam lewat jalur diplomatik antar kedua Negara (Suharna, 2012).
Dalam menanggapi kasus sengketa di Laut Cina Selatan ASEAN telah berupaya menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut secara damai. Meskipun masih jauh dari penyelesaian yang sebenarnya. Karakter yang dimiliki oleh Laut Cina Selatan lebih rumit dikarenakan disana terdiri atas pulau-pulau karang termnasuk pulau yang di sengketakan. Sehingga menyulitkan penentuan batas landas kontinen. Permasalahan di Laut Cina Selatan menjadi semakin rumit tatkala terdapat campur tangan asing yang berada diluar konflik tersebut, seperti Amerika Serikat. Dalam Konvensi Batas Landas Kontinen 1958 (Usman, 1981: 331) ditetapkan prinsip bahwa penetapan Batas Landas Kontinen dinatara negara-negara pantainya, terdapat di pasal 6. Yaitu penentuan Batas Landas Kontinen ditentukan secara bersama-sama. Jika persetujuan secara bersama tidak dapat dicapai maka cara lain yang ditempuh adalah dengan menggunakan garis tengah atau median line bagi daerah yang berhadapan, dan garis jarak yang sama atau equidistance line bagi daerah yang berdampingan.Dalam melihat sengketa di Laut Cina Selatan kepemilikan terhadap pulau-pulau tersebut sangatlah menentukan, sebuah negara untuk mendapatkan ZEE lebih luas di tengah samudera.
Dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, cara damai adalah cara utama yang terus di upayakan oleh ASEAN dan juga RRT, hingga disepakatilah Declaration on Conduct of the Parties in South China Sea (DOC) yang disepakati di Kamboja, pada 4 November 2002. Untuk kemudian yang terakhir adalah disepakatinya Guidelines forthe Implementation of the DOC, yang menjadi awal pembahasan dari Code of Conduct, atau tata aturan berperilaku di Laut Cina Selatan pada tahun 2011. Hal ini merupakan sebuah progressif dimana pada tahun yang sama terjadi peningkatan Hubungan Diplomatik antara ASEAN dan RRT dengan diresmikannya ASEAN-China Centre (ACC).
2.4 Konflik Thailand – Kamboja
Thailand dan Kamboja awalnya merupakan dua negara Asia Tenggara yang memiliki hubungan yang baik dan jarang terlibat pertikaian. Hal ini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan, seperti persamaan agama dan sistem pemerintahan. Keduanya merupakan negara yang berbatasan secara langsung, yaitu wilayah Preah Vihear berbatasan dengan wilayah Sisaket di bagian Timur Laut Thailand. Ketika merdeka tahun 1953, Kamboja mulai mengangkat permasalahan kepemilikan Kuil Preah Vihear dengan Thailand. Hubungan kedua negara sempat tegang setelah Thailand mengirim tentaranya ke kuil tersebut. Thailand bahkan sempat mengamankan sebagian arca dan obyek kuil ke negerinya. Setelah upaya diplomatik gagal, kedua negara telah sepakat menyerahkan permasalahan ini ke Mahkamah Internasional (MI), dalam putusannya tertanggal 15 Juni 1962 (The Hague Judgment of 15 June 1962), Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Kamboja sebagai pemilik Kuil Preah Vihear dan akibatnya Thailand harus menarik pasukan militernya maupun para penjaga yang dikerahkan di sekitar kuil atau disekitar wilayah kedaulatan Kamboja.
Keputusan Mahkamah Internasional tersebut adalah bersifat mengikat dan final artinya para pihak yang bersengketa di hadapan Mahkamah Internasional tidak dapat melakukan banding atas putusan yang telah dikeluarkan. Mahkamah Internasional mendasarkan putusannya pada peta yang dibuat sekelompok ahli yang dibentuk atas kesepakatan antara Pemerintah Perancis dan Pemerintah Siam, yaitu the Commission of Delimitation. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional tidak dengan tegas menetapkan garis batas kedua negara. Mahkamah Internasional hanya menetapkan siapa yang memiliki kedaulatan atas kuil tersebut (Sari, 2008).
Pada bulan Juli 2008 Kuil Preah Vihear yang diperkirakan yang telah berumur 900 tahun dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia (Word Heritage List) oleh UNESCO. Hal ini disambut gembira oleh Pemerintah Kamboja, namun memicu masalah di Thailand (Sinar Harapan, 7 Oktober 2008). Akibatnya, terjadilah kontak senjata antara tentara militer Kamboja dengan tentara militer Thailand di perbatasan dekat Kuil Preah Vihear yang menjadi jantung sengketa antara kedua negara. Baku tembak yang pecah antara tentara militer kedua negara terjadi pada tanggal 15 Oktober 2008 yang mengakibatkan tewasnya dua orang tentara Kamboja dan melukai lima orang tentara Thailand, dan kemudian baku tembak untuk kedua kalinya terjadi pada tanggal 3 April 2009, akibat kontak senjata tersebut telah menewaskan dua orang tentara militer Thailand dan mengakibatkan sepuluh orang tentara militer lainnya mengalami luka-luka (Sari, 2008).
Berbagai upaya, baik secara bilateral, regional, maupun internasional dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik ini, atau setidaknya meredakan ketegangan an. Perbedaan persepsi kedua negara dalam upaya penyelesaian semakin menghambat terciptanya resolusi konflik. Mengingat kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya mau menyelesaikan konflik dalam level bilateral (Raharjo, 2011). Sementara itu, Kamboja lebih percaya diri melibatkan pihak luar, baik PBB maupun ASEAN (Raharjo, 2011).
Hun Sen mengatakan bahwa baku tembak di dekat kuil Preah Vhiear adalah perang bukan lagi konflik antar tentara, sehingga mekanisme bilateral tidak akan bekerja. Kamboja kemudian meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengerahkan pasukan pemelihara perdamaian PBB ke perbatasan itu. DK menyatakan bahwa perannya akan dibatasi dengan cara mendukung usaha-usaha regional dan usaha-usaha bilateral untuk merundingkan penyelesaian konflik tersebut. PBB kemudian memutuskan akan mengadakan perundingan di New York yang akan dihadiri Menlu Thailand Kasit Piromya, Hun Sen, dan Menlu Marty Natalegawa dari Indonesia sebagai ketua ASEAN pada 14 Februari 2011 (Raharjo, 2011). Piromya mengatakan bahwa pasukan pemelihara keamanan PBB tak diperlukan dan bahwa pemerintahnya ingin menyelesaikan isu secara bilateral.
Secara formal, Thailand dan Kamboja sebenarnya sudah mau duduk bersama dalam pertemuan yang difasilitasi ASEAN seperti yang yang dilakukan pada 22 Februari 2011 di Jakarta, dengan hasil sepakat untuk menerima tim pemantau dari Indonesia (Raharjo, 2011). Hasil pertemuan ini juga menyepakati pertemuanJoint Border Committee (JBC) di Bogor pada April 2011 yang melibatkan menteri pertahanan kedua negara (Raharjo, 2011). Kamboja cenderung mendukung keputusan ini, sedangkan Thailand menunjukkan sikap berbeda. Menteri Pertahanan Thailand, Prawit Wongsuwan, menyatakan tidak akan menghadiri JBC dan menolak kehadiran tim pemantau dari Indonesia di wilayah yang disengketakan karena dianggap sebagai wujud campur tangan pihak luar (Raharjo, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pandangan dalam domestik Thailand, antara kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan.
Penanganan konflik yang diserahkan ke ASEAN akan mengedepankan jalur diplomasi dalam menyelesaikan konflik. Namun pertempuran antar militer kedua negara kembali pecah pada akhir April 2011, dan bahkan pertempuran ini meluas ke Candi Ta Moan dan Ta Krabey (Raharjo, 2011). Walaupun penyelesaian konflik dengan mendudukkan Thailand dan Kamboja secara bersama belum menunjukkan hasil, Indonesia melalui kementerian luar negeri terus bergerak mencari celah dengan mengadakan pertemuan informal secara terpisah dengan Kamboja dan Thailand.
Sulitnya terciptanya perdamaian di antara kedua negara lebih dikarenakan sikap Thailand yang masih tidak konsisten terkait dilema internalnya. Indonesia oleh karenanya harus lebih intensif melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri luar negerinya tetapi seluruh pihak yang berkepentingan dalam kabinet Thailand, terutama harus bisa mendekati militer Thailand yang punya pengaruh besar dalam peta politik Thailand. PM Thailand pun harus melakukan koordinasi internal kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand sebagai satu kesatuan sehingga usaha untuk menegosiasikan kepentingan nasional masing-masing negara menjadi keputusan yang win-win solution bisa lebih mudah diwujudkan. Selain itu, Indonesia juga harus berani mengadakan diplomasi tingkat tinggi antar kepala negara. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta pemimpin negara ASEAN lainnya seharusnya memberikan perhatian yang lebih terhadap isu ini tanpa harus terjebak pada ketakutan terhadap tuduhan intervensi (Raharjo, 2011).
Pertemuan trilateral antara Menlu Indonesia Marty Natalagewa, Menlu Thailand Kasit Piromya dan Menlu Kamboja Hor Namhong, memastikan bahwa Thailand dan Kamboja memastikan untuk tetap menyelesaikan masalah konflik mereka dengan cara damai. Yudhoyono merekomendasikan agar Thailand dan Kamboja merundingkan tiga hal penting penyelesaian damai konflik dalam satu paket, yaitu mengaktifkan General Border Committee (perundingan perbatasan pertahanan kedua negara), melihat kembali nokta kesepakatan tahun 2000, dan penempatan tim peninjau Indonesia di perbatasan sesuai kesepakatan yang disetujui pada bulan Februari 2011. Hun Sen menambahkan bahwa penyelesaian konflik di sekitar kuil Preah Vihear diserahkan kepada ASEAN, sedangkan konflik di Candi Ta Moan dan Ta Krabey akan diselesaikan secara bilateral.
2.5 Konflik Teluk Bengal Antara Myanmar-Bangladesh
Konflik Teluk Bengal terjadi antara negara Myanmar, yang terletak di Asia Tenggara dan negara Bangladesh yang terletak di Asia Selatan. Latar belakang terjadinya hal ini dikarenakan belum adanya kesepakatan garis batas landas kontinen antara dua negara tersebut. Hal tersebut diperparah dengan, eksploitasi minyak yang dilakukan oleh Myanmar di perairan Teluk Benggala, tanpa persetujuan dari Bangladesh. Sehingga konflik Myanmar dan Bangladesh ini dilatar belakangi oleh sengketa sebidang wilayah yaitu teluk Benggala yang terletak dalam perairan sepanjang tepi barat Myanmar dan sekitar 93 km barat daya pulau St. Martin.Atau jika ditarik lebih jauh, ketegangan antara pemerintah Myanmar dan Bangladesh berpusat pada sengketa cadangan minyak yang akan dieksploitasi dan belum disepakatinya perbatasan teritorial ini. Konflik perbatasan ini, semakin menambah daftar panjang konflik yang terjadi di Asia Tenggara. Wilayah Asia Tenggara sebagian besar merupakan wilayah perairan, sehingga geografi maritim kain kompleks.
Di dalam menyikapi kasus persengketaan Teluk Bengal yang terjadi antara Myanmar dan Bangladesh yang telah berlagsung selama 3 dekade, tentunya kedua negara tersebut telah melakukan berbabagai usaha resolusi konflik baik dengan melibatkan organisasi-organisasi internasional seperti ASEAN dan PBB yang turut andil menyelesaikan konflik tersebut melalui kebijakan-kebijakannya. Beberapa pertemuan pun dibuat termasuk melalui negosiasi atau jalur perundingan bilateral antar kedua negara yang terjadi di Dhaka untuk membicarakan upaya penyelesaian sengketa dalam usaha menetapkan batas maritim namun pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil termasuk. Dan dalam lingkup ASEAN sendiri, Myanmar yang menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur Mahkamah Internasional. Sehingga kemudian sengketa kedua negara ini dilakukan dengan upaya konsiliasi dengan menunjuk ITLOS sebagai konsiliator. Kedua belah pihak menerima yurisdiksi International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) untuk sengketa mereka. Myanmar pada tanggal 4 November 2009 dan Bangladesh pada tanggal 12 Desember 2009 secara resiprokal menyepakati bahwa klaim ini akan dibawa ke ITLOS. Peran ITLOS dalam penyelesaian sengketa di Teluk Benggala antara Myanmar dan Bangladesh menggunakan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982 dimana menggunakan penyelesaian sengketa secara damai yaitu, menggunakan sarana-sarana penyelesaian sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB. Adapun deklarasi kedua negara tersebut yakni 1) Deklarasi Myanmar menyatakan: Sesuai dengan Pasal 287, ayat 1, 1982 Inggris Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Pemerintah Myanmar dengan ini menyatakan bahwa menerima yurisdiksi Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Myanmar dan Bangladesh yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim antara kedua negara di Teluk Benggala. 2) Deklarasi Bangladesh menyatakan: Berdasarkan Pasal 287, ayat 1, 1982 PBB Konvensi tentang Hukum Laut, Pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa ia menerima yurisdiksi Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Bangladesh dan Myanmar yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim antara kedua Negara di Teluk Benggala (Menas Associates, n.d).
Berdasarkan hasil kesepakan kedua negara serta berdasarkan suara yang telah disepakati, maka keputusan ITLOS dalam menangani kasus persengketaan ini yaitu; 1.)Dalam hal Delimitasi laut teritorial, Keputusan Pengadilan menerima keputusan klaim Bangladesh dan memberikan efek penuh di Pulau St Martin di wilayah delimitasi laut teritorial; 2.) Dalam hal Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Dalam 200 Mil, keputusan Pengadilan jika dilihat dari status dan akibat yang harus diberikan kepada Pulau St Martin, ITLOS berpendapat bahwa tidak ada aturan umum dan keadaan tertentu yang dianggap penting; 3.) Dalam hal Delimitasi Landas Kontinen Di Luar 200 Mil, keputusan Pengadilan dalam hal ini adalah pertama kalinya bahwa pengadilan internasional harus menangani hukum dan praktek Delimitasi Landas Kontinen di luar 200 mil (Menas Associates, n.d). Sedangkan berdasarkan keputusan arbitrase mengenai sengketa yang terjadi antara Myanmar dan Bangladesh, keputusan ITLOS mengatakan bahwa Bangladesh memenangkan arbitrase,namun Bangladesh harus menyerahkan klaim atas sejumlah besar ZEE dan beberapa blok gas ke Myanmar. Pengadilan juga menyarankan Myanmar dan Bangladesh untuk saling menjaga wilayah kedaulatannya masing-masing agar upaya penyelesaian sengketa yang sudah kedua negara lakukan tidak sia-sia sehingga kedua negara dapat menjadi negara yang saling menguntungkan antar negara dan diharapkan keputusan ini menjadi kemenangan kedua negara. Mengingat keputusan telah mengakhiri masalah yang telah menghambat perkembangan ekonomi kedua negara selama lebih dari 3 dekade.
2.6 Konflik Vietnam-Kamboja
Latar belakang awal kemunculan konflik di Kamboja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama bahwa adanya berbagai kepentingan dari pihak asing di Kamboja. Pihak asing yang terlibat dalam proses pembentukan bangsa Kamboja ini cenderung mengambil keuntungan dari Kamboja. Kamboja merupakan negara yang terletak di bagian timur laut Asia Tenggara dan merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Thailand, Vietnam, dan Laos. Sekitar abad ke-10 sampai abad ke-14, wilayah Kamboja berada di bawah kejayaan Kerajaan Khmer. Namun, sejak abad ke-14, Thailand dan Vietnam menginvasi dan berusaha untuk menguasai Kamboja terus menerus selama 4 abad. Thailand melihat bahwa Kamboja memiliki pangsa pasar yang sangat potensial bagi perdagangan kedua negara tersebut. Vietnam kemudian ingin menyatukan wilayah Indocina di bawah kepemimpinannya yang didukung oleh Perancis. Kamboja kemudian menjadi bagian dari French Protectorate atau perlindungan Perancis dan bagian dari French Indochina atau bagian dari koloni Perancis. Awal tahun 1940-an, tepatnya pada saat Perang Dunia II, Kamboja menjadi wilayah perebutan bagi Perancis dan Jepang. Jepang berhasil merebut Kamboja dari perancis pada tahun 1940, tetapi kemudian kembali menjadi wilayah perlindungan Perancis sampai tahun 1953 karena Jepang yang menyerah pada sekutu. Negara superpower seperti Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina juga memliki kepentingan terhadap Kamboja, di mana Cina memberikan dukungan kepada pemerintahan Democratic Kampuchea di bawah pimpinan Pol Pot dan Pangeran Sihanouk untuk mengusir Vietnam yang didukung oleh Uni Soviet untuk keluar dari Kamboja. Sedangkan, Amerika Serikat melihat Kamboja sebagai wilayah yang strategis untuk membendung komunisme Vietnam Utara pada Perang Indocina tahun 1965-1975 dengan jalan membangun aliansi dengan negara-negara kawasan Indocina seperti Vietnam Selatan, Thailand dan Kamboja di bawah pemerintahan Lon Nol (Runtukahu, 2009).
Faktor kedua yaitu adanya implikasi kebijakan rezim Pol Pot yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Kamboja. Sebagai tindakan awal, Pol Pot membagi masyarakat di Kamboja menjadi 5 kategori yakni petani, pekerja, borjuis, kapitalis dan feudalis sehingga kebijakan-kebijakan yang ditetapkan kemudian mengubah seluruh elemen masyarakat di Kamboja. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim Pol Pot tersebut kemudian mengundang berbagai reaksi antara negara-negara sekitarnya. Reaksi yang cukup keras disampaikan oleh Vietnam bahwa Vietnam merasa kebijakan rezim Pol Pot telah merugikan warga keturunan Vietnam di Kamboja. Akibatnya, terjadilah intervensi Vietnam di Kamboja sebagai akar dari konflik di Kamboja. Tindakan Vietnam yang melakukan intervensi didasari atas perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh rezim Pol Pot terhadap puluhan ribu warga keturunan Vietnam dan khususnya para anggota partai komunis pro Vietnam yang juga pernah berkoalisi menumbangkan Lon Nol pada tahun 1975. Tindakan tersebut dianggap Vietnam telah melewati batas toleransi pihak Vietnam sehingga Vietnam merasa terpaksa untuk menyerang pemerintahan Pol Pot guna menyelamatkan rakyatnya (Runtukahu, 2009).
Pada awal tahun 1979, inervensi Vietnam secara resmi mengambil alih pemerintahan di Kamboja dan kemudian membangun negara boneka Vietnam di Kamboja. Vietnam yang berhasil mengambil alih Kamboja membentuk pemerintahan baru yang dikenal sebagai People’s Republic of Kampuchea (PRK) yang dipimpin oleh Presiden Heng Samrin dan Hun sen sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRK sebagai pemimpin Kamboja mendapat dukungan dari Uni Soviet dan Laos. Namun, PRK gagal untuk mendapatkan dukungan dari dunia internasional khususya PBB. Hal ini disebabkan oleh intervensi militer yang dilakukan Vietnam mengundang reaksi negatif dari dunia internasional. PBB dan kebanyakan negara lainnya menolak untuk mengakui rezim Heng Samrin sebagai pemerintahan yang sah di Kamboja (Runtukahu, 2009).
ASEAN sebagai organisasi regional menganggap intervensi dan invansi yang dilakukan Vietnam terhadap Kamboja tidak sesuai dengan visi ASEAN untuk menjadikan suatu komunitas Asia Tenggara yang damai dan hal ini juga telah mengancam keamanan negara anggota ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja, yakni Thailand. Untuk penyelesaian konflik tersebut, ASEAN memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi dengan anggota komunitas internasional dan melakukan mobilisasi dukungan melalui diplomasi koleftif di forum internasional. Upaya ASEAN tersebut kemudian berhasil tersalurkan saat PBB menggelar International Conference on Kampuchea (ICK) pada bulan Juli 1981. Namun, harapan ASEAN terhadap ICK dalam penyelesaian konflik tersebut dinilai kurang sukses karena konferensi ini tidak berhasil untuk menghadirkan negara-negara tertentu. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya sikap negara-negara tertentu yang mendukung pemerintahan yang dibentuk oleh Vietnam, dan pihak-pihak oposisi yang bertentangan (Runtukahu, 2009).
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan :
Konflik perbatasan adalah konflik yang terjadi akibat ketidaksesuaian pandangan negara dengan pihak negara lain terhadap kepemilikan suatu wilayah atau pada hak-hak yang diperoleh di dekat wilayah negara lain.Secara geo-politikkawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik perbatasan yang di kawasan Asia Tenggara yang melibatkan kepentingan negara-negara dalam perluasan power yang mereka miliki. Konflik perbatasan yang terjadi di Asia Tenggara diantaranya adalah Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, Konflik Laut Cina Selatan dan perebutan Kepulauan Spratly, sengketa antara Kamboja dan Thailand mengenai Kuil Preah Vihear,Konflik Laut Bengal antara Myanmar dan Bangladesh, dan konflik perbatasan Kamboja dan Vietnam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar